Di masa lalu, antara abad ke-8 dan ke-13, Dieng adalah 'surga'. dan 28 tahun yang lalu, sebelum Tragedi Sinila terjadi, keindahan surga itu masih dapat dinikmati semua orang. Tetapi, sejak kawah Sinila meletus dan menewaskan banyak orang, surga itu pelan-pelan menghilang, terkubur oleh waktu. Jika tidak ada upaya penyelamatan, nasib Dieng mungkin bisa sama dengan kota Atlantis surga di dataran Spanyol yang lenyap ditelan banjir dan kini tinggal mitos. 'Surga Dieng' yang pada masa kerajaan Chandra Gupta Sidhapala, oleh umat Hindu, diyakini sebagai poros dunia. Ketika itu, Sang Hyang Jagadnata memindahkan 'gunung kosmik' Meru dari India ke Gunung Dieng. Sebagai ibukota kerajaan, ketika itu, Dieng (surga para hyang) tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tapi juga pusat spiritualitas dan peradaban. Di dataran tinggi yang terletak pada ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut itu kini masih terdapat 10 candi Hindu, beberapa danau dan kawah yang masih aktif termasuk Sinila serta dikelilingi beberapa gunung dan pebukitan, dengan panorama yang sangat indah.
Kompleks percandian itu terdiri dari empat kelompok yakni kelompok Candi Dwarawati dan Parikesit, kelompok Candi Dwarawati Timur, kelompok Candi Setyaki, Ontorejo, Petruk, Nala Gareng, dan Nakula-Sadewa, serta kelompok Candi Arjuna, Semar, Sembodro, Puntadewa, dan Srikandi. Kompleks percandian Hindu di Dieng saat ini terletak di pegunungan yang gundul dan nyaris tanpa pepohonan. Dieng menyimpan sejarah masa lalu. Komplek candi ini dibangun di bekas cekungan sisa kawah. Dahulu ini merupakan bangunan Hindu tertua di Jawa Tengah yang dibangun sekitar abad ke tujuh, lebih tua dari prambanan yang dibangun pada abad ke delapan. Pemberian nama sesuai pewayangan, dengan candi Arjuna yang berada di tengah. Candi ini dibangun untuk sebuah kegiatan ritual, karena ada kepercayaan bawa roh-roh leluhur tinggal bersemayam di pegunungan.
Dieng juga memiliki telaga warna, satu dari tiga telaga. Air di telaga ini kerap memantulkan warna warni, karena kandungan belerang. Namun sebagian masyarakat disini percaya, bahwa telaga ini adalah tempat permandian para dewa dan dewi, sehingga banyak peziarah yang datang untuk mengharapkan pesugihan. dan disini ada tiga gua di pinggiran telaga. Salah satu adalah gua Semar. Gua ini kerap digunakan untuk bersemedi.
Ada tiga kawah yang terkenal di sini, yakni Kawah Sikidang, Sileri dan Candradimuka. Kawah Sikidang ini merupakan kawah aktif yang menebar bau belerang yag begitu menyengat. Namun kawah ini sudah dibuka untuk wisatawan. Air Kawah Sikidang berwarna kehitaman, panasnya diperkirakan mencapai seratus derajat celcius dan kawah Sileri yang letaknya berada di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Kawah ini paling berbahaya, dan merupakan yang terluas di Dieng, yakni sekitar dua hektar. Pada tahun 1964 dan tahun 1984 kawah pernah dua kali meletus, sehingga pengunjung hanya diberi kesempatan melihat kawah ini dari jarak beberapa ratus meter saja.
Kawah merupakan fenomena alam yang langka dan menakjubkan, namun sekaligus berbahaya. Tahun 1979, salah satu kawah di Dieng ini, yakni Sinila mengeluarkan gas beracun dan menewaskan 149 penduduk di sini. Namun kawah-kawah ini merupakan energi yang besar. Puluhan kawah ini mengeluarkan tenaga panas bumi atau geotermal yang dapat digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, dan empat diantaranya sudah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga bumi.
Ritual Potong Remo Gembel di Pegunungan Dieng .
Biasanya, upacara potong rambut gembel dilakukan masyarakat Dieng di dua wilayah kabupaten, Banjarnegara dan Wonosobo, pada malam 1 Asyura atau 1 Suro, sesuai tahun baru kalender Jawa atau 1 Muharam menurut kalender Islam. Masyarakat setempat meyakini malam menjelang 1 Asyura merupakan malam suci yang cocok untuk laku prihatin.
Biasanya, upacara potong rambut gembel dilakukan masyarakat Dieng di dua wilayah kabupaten, Banjarnegara dan Wonosobo, pada malam 1 Asyura atau 1 Suro, sesuai tahun baru kalender Jawa atau 1 Muharam menurut kalender Islam. Masyarakat setempat meyakini malam menjelang 1 Asyura merupakan malam suci yang cocok untuk laku prihatin.
Mereka begitu percaya malam pergantian tahun Jawa bersamaan dengan berlangsungnya hajatan besar, perkawinan sepasang mempelai keturunan tokoh supranatural, Kiai Kaladete dan Nyi Roro Kidul�sang penguasa Telaga Balekambang di Dieng. Telaga Balekambang dipercayai sebagai istana tempat kediaman Kiai Kaladete.
Pada saat malam tiba, di atas telaga tampak seperti ada tarian obor. Para penari yang memegang obor meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan yang sangat indah. Keramaian di telaga itu merupakan pertanda di sana sedang ada perhelatan besar.
Tarian obor itu berlangsung sampai menjelang pagi itu sebagai wujud kegembiraan komunitas penguasa gaib itu. Konon menurut kepercayaan sebagian warga Dieng, pada upacara ritual yang sakral itu, kedua tokoh supranatural itu membagi-bagikan berkahnya lewat anak berambut gembel.
Tarian obor itu berlangsung sampai menjelang pagi itu sebagai wujud kegembiraan komunitas penguasa gaib itu. Konon menurut kepercayaan sebagian warga Dieng, pada upacara ritual yang sakral itu, kedua tokoh supranatural itu membagi-bagikan berkahnya lewat anak berambut gembel.
Berangkat dari kepercayaan ini, komunitas masyarakat magis religius di Dieng, yang ketitipan anak berambut gembel, berupaya menyelenggarakan upacara ritual ruwatan.Upacara ritual potong rambut gembel menjadi salah satu event tahunan atau tengah tahunan untuk menarik wisatawan mengunjungi Dieng,
Leluhur
Kaladete adalah tokoh spiritual yang sangat berpengaruh dan merasuk dalam kehidupan sebagian warga di Dieng. Mereka menganggap Kiai Kaladete adalah nenek moyangnya, leluhur penduduk Dieng. Akan tetapi, penduduk tidak tahu pasti tentang asal-muasal anak berambut gembel, bagaimana anak mempunyai rambut gembel. Mitos yang hidup di sana, konon sebelum meninggal Kiai Kaladete berpesan agar keturunannya ikut membantu menghadapi gangguan yang belum dapat diselesaikan. Ia kemudian mewariskan rambut gembel kepada keturunannya.
Kaladete adalah tokoh spiritual yang sangat berpengaruh dan merasuk dalam kehidupan sebagian warga di Dieng. Mereka menganggap Kiai Kaladete adalah nenek moyangnya, leluhur penduduk Dieng. Akan tetapi, penduduk tidak tahu pasti tentang asal-muasal anak berambut gembel, bagaimana anak mempunyai rambut gembel. Mitos yang hidup di sana, konon sebelum meninggal Kiai Kaladete berpesan agar keturunannya ikut membantu menghadapi gangguan yang belum dapat diselesaikan. Ia kemudian mewariskan rambut gembel kepada keturunannya.
Mitos lain menyebutkan, anak berambut gembel merupakan kesayangan dan titipan penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, yang diyakini menjadi penari saat berlangsung perhelatan akbar pada malam 1 Suro di Telaga Balekambang. Namun, komunitas masyarakat di Dieng mempunyai mitos lain yang berbeda dengan kedua mitos di atas. Mereka meyakini bahwa di Dieng ada sebuah desa bernama Siterus di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Di desa ini hidup keturunan bangsawan Kerajaan Kalingga�sebuah Kerajaan Hindu pada abad VII-VIII yang pernah berdiri di Dieng. Keturunan Raja Kalingga inilah yang diyakini membangun candi-candi di Dieng.
Mereka punya keyakinan apabila ada anak yang mempunyai rambut gembel, itu adalah titisan Keling. Penduduk setempat menyebutnya sebagai anak bajang karena biasanya tubuhnya pendek. Anak titisan Keling menjadi anak kesayangan �dayang� yang �menghuni� kawasan Dieng. Itulah sebabnya, bocah seperti ini biasanya mendapat perhatian lebih. Anak bajang punya sifat dan karakter yang berbeda dengan anak pada umumnya. Ia biasanya nakal, penyakitan, dan menjadi bahan olok-olok teman sebayanya.
Kehidupan anak berambut gembel dikisahkan dalam sebuah drama sendratari. Apa saja permintaannya harus selalu dipenuhi, terlebih saat menjelang upacara ritual rambut gembelnya akan dipotong. Rambut gembel, menurut beberapa orang tua tidak akan dipotong atau dicukur apabila si anak belum minta dipotong. Keinginan memotong rambut gembel biasanya baru muncul saat mereka menginjak usia lima tahun sampai 12 tahun. Permintaan memotong rambut biasanya disertai dengan keinginan yang aneh-aneh.
Ritual potong rambut gembel sarat nuansa religius magis. Potongan rambut tidak dibuang. Potongan rambut dijadikan satu dengan jajanan pasar, kembang telon (bunga tiga warna) dibungkus kain putih, lalu dilarung di Sungai Serayu Upacara ritual potong remo gembel diawali acara ruwatan yang berlangsung di sebuah lokasi yang bernama Batu Tulis tidak jauh Teater Dieng Plateu dengan ruwatan itu diharapkan anak berambut gembel terlepas dari berbagai penyakit dan bala. Umumnya kondisi anak berambut gembel memprihatinkan. Mereka kerap terjangkit penyakit. Namun setelah diruwat dan dimandikan di Goa Sumur dan rambut gembelnya dipotong, serta-merta mereka berubah menjadi anak-anak yang sehat, jauh dari bala dan penyakit, serta dapat berbaur dalam kehidupan normal seperti anak sebayanya.
by. eko�kodok�
Post a Comment